Sejarah kolonial adalah lembaran penting yang menyimpan berbagai kisah yang bisa diambil sebagai pelajaran. Salah satu yang menonjol adalah mengenai seorang pejabat dari VOC yang bernama Qiu Zuguan, yang dikenang sebagai sosok kontroversial dalam sejarah pemerintahan Belanda di Indonesia.
Qiu Zuguan menjabat sebagai kepala lembaga Boedelkalmer di Batavia, tugasnya sangat berat, yaitu mengurus harta peninggalan orang-orang Tionghoa yang saat itu banyak kembali ke tanah asal membawa aset mereka. Namun, kebijakan yang ia terapkan justru menambah beban hidup rakyat yang sudah sengsara.
Salah satu kebijakan yang paling dibenci oleh masyarakat adalah pajak yang dikenakan pada berbagai aspek kehidupan, termasuk pernikahan dan kematian. Ketika seseorang ingin menikah atau mengurus sertifikat kematian, mereka harus membayar pajak, meskipun dalam keadaan berduka.
Qiu Zuguan dan Pajak Menyengsarakan Warga Tionghoa
Sejak awal masa jabatannya pada tahun 1715, Qiu Zuguan membuat berbagai kebijakan yang memperberat rakyat. Dalam pemerintahan VOC, warga Tionghoa menjadi kelompok yang paling sering dikenakan pajak. Oleh karena itu, mereka kerap merasakan kesengsaraan yang mendalam akibat berbagai pungutan yang diberikan kepada mereka.
Sejarawan Leonard Blusse dalam karyanya menyebut bahwa hampir setiap aktivitas masyarakat dikenakan tarif yang membuat mereka tertekan. Selain pajak untuk pernikahan dan kematian, ada juga pajak kepala, pajak kuku, dan lain-lain yang memberikan beban berat bagi pribadi dan keluarga.
Komunitas Tionghoa merasakan penderitaan yang sangat dalam. Mereka terpaksa mematuhi peraturan tersebut agar terhindar dari denda atau hukuman penjara yang menanti bila mereka menolak membayar pajak. Tentu, ini adalah situasi yang sangat tidak adil bagi mereka.
Resistensi yang Tercermin pada Kematian Qiu Zuguan
Ketika Qiu Zuguan meninggal pada Juli 1721, keinginan masyarakat untuk melampiaskan kekesalan pun muncul. Biasanya, sosok yang memiliki jabatan tinggi akan diantar ke pemakaman dengan hormat oleh banyak orang. Namun hal ini tidak berlaku untuk Qiu.
Tidak ada seorang pun yang mau mengangkat peti jenazahnya. Peti berisi jasad Qiu dibiarkan tergeletak di tengah jalan, tanpa ada yang berani mengangkatnya menuju kuburan. Ini merupakan bentuk perlawanan paling simbolis dari masyarakat terhadap kebijakan buruk yang dilakukannya selama menjabat.
Keluarga Qiu berusaha mencari bantuan dengan menawarkan imbalan, namun tetap tidak berhasil. Akhirnya mereka terpaksa menyewa orang lain untuk mengusung peti Qiu. Kejadian ini membuktikan bahwa kebencian masyarakat terhadapnya sangat mendalam, meskipun ia sudah pergi.
Kisah Ini Sebagai Pembelajaran bagi Kita
Kisah Qiu Zuguan mengingatkan kita akan pentingnya pemerintahan yang adil dan mengayomi. Sejarah memang memiliki cara tersendiri untuk mengajarkan kita apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh pemimpin. Kebijakan yang hanya mementingkan kepentingan kelompok tertentu dapat menimbulkan ketidakpuasan yang mendalam di masyarakat.
Nilai-nilai dalam perilaku Qiu yang mendatangkan kebencian menunjukkan bahwa suatu pemimpin harus memperhatikan suara rakyat dan tidak terjebak dalam kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang. Sejarah sering kali kembali terulang ketika kita tidak belajar dari masa lalu.
Penting bagi kita untuk memahami kisah-kisah semacam ini agar dapat mengambil hikmah yang positif bagi masa kini. Setiap tindakan yang kita ambil sebagai pemimpin atau anggota masyarakat akan berpengaruh pada orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.