Gaji besar yang diterima oleh pejabat dan petinggi negara diharapkan dapat mencerminkan kontribusi nyata mereka kepada masyarakat. Namun, kenyataan seringkali bertolak belakang, di mana harapan itu tidak selalu terwujud.
Tidak jarang kita mendengar berita tentang pejabat yang justru mengecewakan masyarakat. Mulai dari kasus korupsi hingga tindakan yang menyakiti hati publik, penilaian terhadap mereka seringkali sulit dilakukan.
Refleksi Masa Lalu dan Realitas saat Ini
Di Indonesia, perilaku tak pantas dari para pejabat bukanlah hal yang baru. Hal ini membawa ingatan pada sejarah, ketika pelayanan publik dihormati dan etika menjadi pedoman utama. Pada akhir abad ke-18, tindakan korupsi menjadi salah satu tantangan berat bagi pemerintah.
Di masa kolonial, dimulai dengan sistem VOC, kesenjangan antara pendapatan dan perilaku pejabat sudah terlihat. Keterkaitan antara upah dan gaya hidup yang berlebihan membuka celah luas bagi praktik korupsi yang semakin meluas.
Kenaikan gaji pejabat pada masa itu tampaknya tidak sejalan dengan harapan untuk menekan korupsi. Justru, dengan adanya pengawasan yang minim, pejabat merasa bebas untuk melanggar norma dan moral yang seharusnya dijunjung tinggi.
Penerapan Sanksi untuk Mencegah Penyimpangan
Strategi yang diambil oleh pemimpin kolonial saat itu terbukti tidak efektif. Meski memberikan gaji tinggi, sanksi berat juga diterapkan untuk memitigasi kemungkinan perilaku curang. Namun, ancaman hukuman sering kali tidak mengubah perilaku para pejabat.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap pejabat yang tidak kompeten terus berlanjut hingga saat ini. Kasus-kasus penyelewengan darah dan uang publik menunjukkan bahwa sistem pengawasan perlu diperbaiki. Dalam konteks ini, evaluasi terhadap kinerja pejabat menjadi sangat penting.
J.P.F. Filz, seorang pejabat dari masa Hindia Belanda, merupakan contoh ekstrem dari kegagalan sistem ini. Dengan posisi tinggi dan gaji besar, ia justru mengkhianati tanggung jawab yang diembannya, memupus harapan masyarakat akan keamanan dan kesejahteraan.
Kisah Pahit dari J.P.F. Filz
Kisah J.P.F. Filz menjadi pelajaran berharga tentang konsekuensi dari kelalaian. Di tahun 1808, saat Herman Willem Daendels memimpin, muncul kebijakan untuk menaikkan gaji pejabat sebagai upaya memberantas korupsi. Namun, tujuan mulia itu sirna dengan pengkhianatan yang dilakukan Filz.
Filz memiliki tugas penting menjaga Ambon dari ancaman musuh, namun ia tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Sebagai gantinya, ia justru menyerahkan wilayah tersebut kepada Inggris, meski memiliki pasukan yang cukup. Tindakan ini jelas merugikan negara dan mencoreng nama baik pemerintah.
Akibat dari kelalaian tersebut, Daendels sangat murka dan memerintahkan penangkapan Filz. Dalam proses peradilan yang berlangsung, Filz beralasan bahwa kekurangan amunisi adalah penyebab kegagalan, namun argumennya ditolak oleh majelis hakim.
Pelajaran Sejarah untuk Masa Kini
Vonis hukuman mati bagi J.P.F. Filz pada tahun 1810 menunjukkan bahwa tindakan kecerobohan dan pengkhianatan tidak bisa ditoleransi. Meskipun gaji besar diberikan, integritas dan kinerja tetap menjadi penilaian utama untuk seorang pejabat. Hal ini pun memberi para pejabat saat ini signal bahwa tanggung jawab yang diemban adalah hal yang sakral.
Belajar dari sejarah berarti mengambil hikmah dari kesalahan yang telah terjadi. Komitmen untuk berintegritas perlu ditanamkan kembali pada diri setiap pejabat demi terciptanya pemerintahan yang bersih dan bersahabat dengan masyarakat.
Dengan menyalakan kembali semangat untuk melayani publik dengan tulus, harapan masyarakat akan kinerja yang maksimal dapat terealisasikan. Kenaikan gaji haruslah diimbangi dengan peningkatan tanggung jawab dan sikap akuntabel dalam menjalankan tugas.