Setiap tanggal 10 November, masyarakat Indonesia merayakan momen bersejarah dengan penetapan nama-nama baru sebagai Pahlawan Nasional. Tahun ini, Presiden Prabowo Subianto menetapkan sepuluh pahlawan baru, yang tidak hanya mencakup tokoh terkenal, tetapi juga sosok-sosok yang mungkin kurang dikenal.
Di antara mereka adalah Marsinah, seorang buruh yang perjuangannya diakui setelah jasadnya ditemukan pada 8 Mei 1993. Namun, tidak banyak yang tahu tentang sosok resmi pertama yang mendapat gelar Pahlawan Nasional, yaitu Abdoel Moeis, seorang jurnalis dan petani yang berkontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan.
Abdoel Moeis memiliki latar belakang pendidikan yang menarik. Dia memulai pendidikan dasarnya di sekolah Eropa (ELS) dan melanjutkan ke sekolah dokter Jawa, STOVIA, meskipun akhirnya lebih dikenal dalam dunia jurnalistik.
Abdoel Moeis: Pelopor Jurnalisme Perjuangan di Indonesia
Tahun 1905 menjadi titik awal bagi Abdoel Moeis saat dia bergabung dengan majalah Bintang Hindia yang dipimpin oleh Abdul Rivai. Melalui berbagai media, dia mulai mengekspresikan pemikirannya yang progresif dan mengkritik kebijakan kolonial Belanda.
Setelah aktif di majalah tersebut, Abdoel juga bergabung dengan koran Soeara Merdeka di Bandung dan kemudian menjadi bagian dari media Kaum Muda. Di sinilah dia mulai menarik perhatian dengan tulisan-tulisannya yang menggugah, sehingga membuat pemerintah kolonial marah.
Dari interaksi di Kaum Muda, Abdoel Moeis membangun jaringan dengan berbagai tokoh gerakan nasional seperti Tjokroaminoto dan Ki Hajar Dewantara, yang semakin memperkuat semangat perjuangannya. Melalui kegiatan ini, dia mendirikan organisasi yang menentang kekuasaan kolonial dan memperjuangkan hak rakyat.
Aktivisme dan Penjara: Harga dari Perjuangan
Aktivitas politik Abdoel yang berani menyebabkan dia sering kali mendekam di penjara. Terutama saat dia memimpin demonstrasi besar untuk membela buruh, yang kemudian dilarang oleh pihak kolonial. Situasi ini mencerminkan betapa sulitnya perjuangan para pahlawan saat itu.
Setelah beberapa kali dipenjara, Abdoel Moeis akhirnya memutuskan untuk mengalihkan fokusnya dari politik ke dunia pertanian dan sastra. Dia mencoba mengekspresikan pengalamannya melalui tulisan pada tahun 1928 saat menerbitkan novel pertamanya, Salah Asuhan.
Novel ini menggambarkan realitas masyarakat Indonesia di bawah penjajahan, menjadikannya sebuah karya yang tidak hanya fiksi, tetapi juga kritik sosial. Dengan bakat penulisannya, Abdoel mampu menyampaikan isi hatinya dan menggugah kesadaran masyarakat.
Penghargaan: Perjuangan yang Diakui oleh Bangsa
Di tahun yang sama ketika Abdoel Moeis meninggal dunia pada 1959, pemerintah mulai mendiskusikan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional. Saat itu, Soekarno berkomitmen untuk mengangkat kembali nama-nama tokoh yang berjuang melawan penjajahan Belanda dan menginspirasi nasionalisme di kalangan rakyat.
Pemerintah melakukan berbagai cara untuk menghormati perjuangan para pahlawan, termasuk penulisan biografi dan pembuatan poster. Proses ini bukan semata-mata formalitas, tetapi juga sebagai pengingat akan tekad dan pengorbanan mereka untuk negara.
Gelar Pahlawan Nasional untuk Abdoel Moeis menjadi simbol pengakuan atas perjuangannya, serta kontribusinya dalam dunia jurnalistik dan aktivisme. Dia diakui sebagai pahlawan pertama yang mampu menggugah semangat perjuangan rakyat demi kemerdekaan.
















