Pemerintah Indonesia saat ini sedang merencanakan redenominasi rupiah, suatu langkah untuk menyederhanakan nilai nominal mata uang tanpa mengubah daya beli masyarakat. Dengan rencana ini, Rp1.000 akan disetarakan menjadi Rp1, menjadikan angka yang lebih mudah dipahami dan dikelola dalam transaksi sehari-hari.
Proses ini adalah bagian dari Rencana Strategis Kementerian Keuangan untuk periode 2025 hingga 2029 dan diharapkan dapat merampungkan RUU tentang redenominasi pada tahun 2027. Koordinasi di bawah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadhewa menunjukkan betapa seriusnya pemerintah dalam merealisasikan langkah ini.
Tentunya, wacana redenominasi bukanlah sebuah ide baru. Sejak 60 tahun lalu, Indonesia pernah melakukan kebijakan serupa yang memberikan pelajaran berharga mengenai dampak ekonomi dan sosial dari keputusan tersebut.
Redenominasi dan Sejarah Ekonomi Indonesia yang Krusial
Pada tahun 1965, Indonesia menghadapi krisis ekonomi yang cukup parah. Inflasi yang melambung tinggi hingga 635% menyebabkan ketidakpastian di berbagai sektor, dari pertumbuhan ekonomi hingga harga-harga kebutuhan pokok yang tak terkendali. Dalam situasi genting ini, pemerintah merasa perlu untuk mengambil tindakan cepat dan tepat.
Pada 13 Desember 1965, Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan darurat yang dikenal sebagai Penetapan Presiden RI No. 27 Tahun 1965. Kebijakan ini bertujuan untuk mengeluarkan uang baru dan menarik uang lama dari peredaran, guna menyederhanakan nilai nominal untuk memudahkan transaksi.
Dengan metode ini, diharapkan masyarakat dapat kembali mempercayai mata uang dan sistem pembayaran yang ada. Namun, langkah ini tidaklah sebesar harapan; masalah justru muncul ketika masyarakat kesulitan menyesuaikan diri dengan dua sistem mata uang yang berbeda.
Implikasi Sosial dan Ekonomi dari Kebijakan Redenominasi
Setelah pelaksanaan redenominasi pada tahun 1965, dampak yang dirasakan oleh masyarakat beragam. Banyak yang bingung mengenai nilai uang yang baru, sehingga memicu ketidakpastian dalam daya beli dan transaksi sehari-hari. Beberapa kalangan bahkan menganggap kebijakan ini hanya sebagai siasat pemerintahan untuk mengatur keuangan negara.
Dekan Fakultas Ekonomi UI saat itu, Widjojo Nitisastro, juga menyampaikan pandangannya bahwa tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menyesuaikan persediaan uang dengan kebutuhan pemerintah. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan banyak masalah dan kebingungan di kalangan rakyat.
Kekacauan semakin parah dengan beredarnya dua jenis mata uang secara bersamaan dan kondisi politik yang tidak stabil pasca-peristiwa G30S 1965. Keadaan ini menambah krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan mengakibatkan gelombang demonstrasi di berbagai daerah.
Pembelajaran dari Pengalaman Redenominasi Sebelumnya
Pengalaman redenominasi tahun 1965 memberikan banyak pelajaran bagi pemerintah saat ini. Salah satu pelajaran terpenting adalah pentingnya komunikasi yang jelas dan mendalam kepada masyarakat mengenai perubahan yang akan dilakukan. Jika masyarakat tidak paham, maka pembangkangan terhadap kebijakan pun bisa terjadi.
Masyarakat harus dilibatkan dalam proses ini agar mereka dapat memahami tujuan dan manfaat dari redenominasi. Hal ini berpotensi mengurangi ketidakpahaman dan resistensi yang mungkin bermunculan jika langkah ini dijalankan tanpa adanya sosialisasi yang memadai.
Evaluasi dan analisis yang cermat tentang keadaan ekonomi dan politik juga penting. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa semua faktor eksternal harus dipertimbangkan agar keputusan yang diambil sehat secara ekonomi dan sosial.
















