Perdamaian antara negara-negara Arab dan Israel selalu menjadi topik yang kontroversial dan penuh pergolakan. Saat negara-negara yang dikenal menjadi penentang utama Zionisme memilih untuk bernegosiasi, dampak yang ditimbulkan seringkali mengejutkan, bahkan membawa akibat tragis dalam sejarah politik mereka.
Salah satu momen paling kelam terjadi di Mesir ketika Presiden Anwar Sadat dibunuh oleh pasukannya sendiri. Peristiwa ini menunjukkan betapa dalamnya perpecahan di kalangan rakyat Mesir terkait posisi negara mereka terhadap Israel dan dampak dari keputusan politik Sadat.
Insiden Tragis di Kairo pada 6 Oktober 1981
Situasi kritis itu terjadi pada 6 Oktober 1981 saat parade militer diadakan di Kairo untuk merayakan kemenangan militer Mesir dalam Perang Yom Kippur. Dalam suasana yang penuh euforia, presiden yang dikenal karismatik tersebut berpartisipasi di antara ribuan pasukan dan warga sipil, semua dalam pengamanan yang ketat.
Tentunya, tidak ada yang bisa menduga bahwa sebuah tragedi akan melanda saat itu. Ketika Sadat duduk di tribun utama, truk yang membawa beberapa perwira militer tiba-tiba berhenti, menandakan sesuatu yang tidak biasa akan terjadi.
Setelah memberikan hormat, letnan di atas truk itu ternyata diam-diam memiliki rencana jahat. Dalam sekejap, granat dilemparkan, disusul tembakan senapan otomatis dari pasukan tersebut, yang mengakibatkan kekacauan massal di tengah parade.
Konsekuensi dari Tindakan Radikal
Serangan ini dipimpin oleh Letnan Khalid Islambouli, yang berafiliasi dengan kelompok Jihad Islam Mesir. Reaksinya sangat ekstrem, mengingat kebijakan Sadat dianggap sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina yang telah berlangsung lama.
Sejak Israel berdiri pada tahun 1948, Mesir dikenal sebagai salah satu negara yang paling tegas melawan zionisme. Terlibat dalam beberapa konflik militer, Kesepakatan Perdamaian Camp David yang ditandatangani Sadat justru memicu gelombang penentangan dari berbagai kalangan di dalam negeri.
Setelah perjanjian damai tersebut, banyak yang merasa bahwa perjuangan dan darah yang telah tumpah selama ini telah sia-sia. Dengan kembali ke meja perundingan, Sadat dianggap melanggar prinsip-prinsip perjuangan Arab, sehingga kelompok ekstrem mengambil langkah untuk menghabisi nyawanya.
Perubahan Sikap Sadat dan Penolakannya
Perubahan sikap Sadat muncul setelah pemahaman baru bahwa militer tidak dapat mengalahkan Israel secara langsung. Ia menilai bahwa negosiasi adalah satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan dan stabilitas kawasan.
Pada 26 Maret 1979, Sadat dengan tegas menandatangani Perjanjian Damai Camp David, namun keputusannya itu menciptakan keguncangan di kalangan militer dan masyarakat sipil. Bagi banyak orang, keputusan itu seperti menjual agama dan tanah air mereka demi keperluan politik internasional.
Gelombang penolakan yang dihadapi Sadat bukan hanya dari masyarakat umum, tetapi juga dari para pemimpin tentara dan ulama yang merasa terkhianati. Dari sini, gerakan ekstrem yang merencanakan pembunuhan terhadapnya semakin berkembang dan mengakar.
Warisan dan Dampak Jangka Panjang
Setelah peristiwa tragis yang menewaskan Sadat, warisan politik yang ditinggalkannya menjadi semakin kompleks. Di satu sisi, ia dikenang sebagai pelopor perdamaian, tetapi di sisi lain, ia juga menjadi simbol pengkhianatan di mata kelompok radikal.
Islambouli, yang menjadi otak licik di balik pembunuhan tersebut, ditangkap dan divonis mati, menunjukkan bahwa bahkan di tengah segala tindakan ekstrem, hukum tetap ditegakkan. Namun, dampak dari kejadian ini melampaui kehidupan individu.
Konflik yang berkepanjangan ini terus menghantui Mesir, menciptakan suasana ketegangan yang terus berlanjut hingga hari ini. Proses perdamaian menyisakan jejak mendalam yang mempengaruhi kebijakan luar negeri dan hubungan Mesir dengan negara-negara Arab lainnya.