Selama awal Agustus, berbagai wilayah di Indonesia masih mengalami hujan yang cukup signifikan, meskipun itu seharusnya menjadi awal puncak musim kemarau. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai faktor-faktor di balik fenomena cuaca yang tidak biasa ini.
Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menunjukkan bahwa hujan dengan intensitas tinggi telah melanda beberapa provinsi. Contohnya, Bengkulu mencatat curah hujan sebesar 160,8 mm/hari pada 1 Agustus, Maluku 203,5 mm/hari pada 3 Agustus, dan Jawa Barat mencapai 254,7 mm/hari pada 9 Agustus.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, menjelaskan bahwa kondisi cuaca ini sejalan dengan prediksi yang dikeluarkan oleh lembaganya, yang menunjukkan adanya peningkatan curah hujan di awal bulan ini.
Penyebab Hujan yang Terjadi di Musim Kemarau
Guswanto mengungkapkan bahwa hujan yang terjadi di berbagai wilayah pada awal Agustus disebabkan oleh sejumlah faktor atmosfer yang kompleks. Kombinasi fenomena, seperti Madden-Julian Oscillation (MJO), gelombang atmosfer, dan pengaruh dari bibit siklon tropis turut memengaruhi kondisi cuaca yang ada.
Menurutnya, sirkulasi siklonik dan pertemuan angin di sekitar Indonesia juga memainkan peranan penting dalam menciptakan awan hujan masif. Hal ini tentunya berpotensi menghadirkan hujan lebat, disertai kilat atau petir serta angin kencang.
Direktur Meteorologi Publik BMKG, Andri Ramdhani, menambahkan bahwa Indeks Dipole Mode yang bernilai negatif memberikan kontribusi terhadap aliran massa udara dari Samudra Hindia menuju Indonesia. Semua faktor atmosfer ini berkolaborasi mendorong munculnya sejumlah fenomena cuaca yang ekstrim.
Pendangan Outlet Ada Hujan Ekstrim di Beberapa Wilayah
Berdasarkan analisis BMKG, potensi hujan sedang hingga lebat disertai kilat dan angin kencang diperkirakan akan berlangsung di sebagian besar wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Khususnya, pada tanggal 11 hingga 13 Agustus, banyak wilayah di Indonesia akan mengalami cuaca yang tidak menentu.
Sementara itu, pada 14 hingga 16 Agustus, meskipun intensitas hujan diprediksi menurun, beberapa daerah seperti Bengkulu dan berbagai wilayah di Papua akan tetap berpotensi mengalami hujan lebat. Ini menunjukkan bahwa meskipun puncak musim kemarau semakin dekat, atmosfer tetap aktif dan menghasilkan hujan.
Gelombang laut juga akan terpengaruh oleh kondisi angin kencang yang mungkin terjadi di Aceh, Banten, serta daerah-daerah lainnya. Hal ini memperingatkan masyarakat akan kemungkinan adanya gelombang tinggi yang dapat membahayakan pelayaran dan aktivitas di laut.
Mengapa Hujan Terus Berlanjut Pada Musim Kemarau?
Meskipun secara klimatologis bulan Agustus adalah waktu di mana musim kemarau seharusnya mencapai puncaknya, hujan yang masih turun menandakan adanya fenomena kemarau basah. Fenomena ini merujuk pada keadaan di mana curah hujan masih terjadi secara rutin dalam musim kemarau.
Guswanto menekankan bahwa situasi ini tetap dalam batas normal secara klimatologis. Artinya, meskipun cuaca tidak sesuai dengan pola yang biasa, itu masih dapat dianggap sebagai bagian dari siklus cuaca alami di Indonesia.
Dari keterangan BMKG, hujan berpotensi akan berlanjut sampai musim hujan resmi tiba. Sementara itu, Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menjelaskan bahwa prediksi curah hujan bulanan menunjukkan anomali yang telah ada sejak Mei 2025 dan bisa berlangsung hingga Oktober.
Faktor Penyebab Perubahan Cuaca yang Signifikan
Salah satu penyebab utama dari fenomena cuaca yang tak terduga ini adalah melemahnya Monsun Australia. Monsun yang lemah menyebabkan suhu permukaan laut di selatan Indonesia tetap hangat, yang berperan dalam menciptakan kondisi hujan yang tidak biasa.
Perubahan suhu dan sirkulasi angin global juga turut memengaruhi pola cuaca lokal di Indonesia. Dengan kata lain, berbagai faktor alam saling berinteraksi, menciptakan kondisi cuaca yang dapat di luar prediksi kita.
Hal ini juga menjadi pengingat bagi masyarakat akan pentingnya memahami lebih jauh tentang pola cuaca yang kompleks. Kesadaran akan dinamika cuaca sangat penting untuk bisa merespons dengan tepat terhadap perubahan iklim yang semakin sering terjadi.