Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Wakil Ketua Badan Pengawas ASN, Zudan Arif Fakhrulloh, baru-baru ini mengambil keputusan penting dengan memberhentikan 13 Aparatur Sipil Negara (ASN). Keputusan ini diambil setelah melalui sidang banding administratif pada 27 November 2025, di mana mereka terbukti terlibat dalam berbagai pelanggaran di lingkungan kerja yang mengkhawatirkan.
Para ASN tersebut tidak hanya melanggar ketentuan dengan tidak masuk kerja, tetapi juga terlibat dalam pemalsuan dokumen, serta isu-isu personal seperti poligami dan perceraian tanpa izin. Tindakan tegas ini menunjukkan perubahan signifikan dari pemerintahan kolonial yang membiarkan banyak pelanggaran serupa tanpa konsekuensi yang berarti.
Seiring berjalannya waktu, pola perilaku yang tidak etis dalam lingkungan pemerintahan tampaknya menjadi lebih lazim. Dalam konteks sejarah, pada masa kolonial, banyak pegawai negeri atau ambtenaar di Hindia Belanda terlibat dalam skandal asmara yang tidak dihukum, menciptakan budaya yang permisif terhadap perilaku yang tidak pantas.
Sejarah dan Kebudayaan Selingkuh di Era Kolonial
Sejak tahun 1816, tercatat bahwa hubungan gelap antara pejabat kolonial dan wanita lokal telah menjadi hal yang biasa. Sejarawan Peter Carey dalam bukunya menggambarkan kemerosotan moral yang terjadi akibat gaya hidup pejabat Eropa yang cenderung bebas, seperti pesta yang berlarut-larut dan alkohol. Kebiasaan ini dianggap jauh dari nilai-nilai budaya setempat dan memicu konflik sosial.
Banyak pejabat yang kesulitan membawa istri sah mereka dari Belanda akibat tingginya biaya perjalanan dan penempatan. Jarak ini membuka peluang bagi hubungan gelap dan memicu kebiasaan menyimpang dari norma yang ada di masyarakat setempat.
Kisah Skandal di Yogyakarta dan Implikasinya
Salah satu pusat skandal terjadi di Yogyakarta, di mana pegawai negeri terlibat dalam hubungan yang jelas melanggar etika. Residen Nahuys van Burgst, yang menjabat dari tahun 1816 hingga 1822, menjadi pusat perhatian karena hubungan terlarangnya dengan seorang wanita bernama Anna Luisa, yang merupakan pasangan dari rekan kerjanya sendiri. Hal ini menciptakan ketegangan di dalam birokrasi kolonial dan menunjukkan bahwa skandal semacam ini bukan fenomena baru.
Pangeran Diponegoro juga terlibat dalam situasi yang rumit ini, merespons kebingungan saat mengetahui bahwa dua pejabat yang seharusnya menjalankan tugas publik terjerat dalam hubungan cinta segitiga. Kasus ini menunjukkan dampak sosial dari perselingkuhan yang tidak hanya menyentuh aspek pribadi, tetapi juga mempengaruhi hubungan antar-pejabat.
Akhir dari hubungan antara Nahuys dan Anna Luisa menjadi sebuah teka-teki, sekadar mencatat bahwa mereka menikah, tetapi detail selanjutnya nyaris hilang dari arsip sejarah. Hal ini menunjukkan kompleksitas yang terjadi dalam bahan-bahan sejarah yang sering kali luput dari perhatian.
Predator Seksual dan Penyalahgunaan Kekuasaan
Lebih jauh lagi, skandal yang melibatkan Pierre Frederic Henri Chevallier dan Johannes Godlieb Dietree menunjukkan sisi kelam dari dunia kolonial. Dua pejabat ini dikenal sebagai predator seksual yang sering terlibat dalam kasus penyaluran kekuasaan mereka kepada perempuan-perempuan lokal, termasuk yang merupakan selir dari Pangeran Diponegoro sendiri. Tindakan ini bukan hanya merendahkan martabat wanita, tetapi juga membahayakan keselamatan dan kehormatan masyarakat setempat.
Dalam salah satu insiden yang mengguncang, Chevallier menolak untuk mengakui hak Pangeran atas perempuan tertentu, bahkan ketika melanggar norma yang ada dengan mengeluarkan perkataan menantang. Perpaduan antara kekuasaan dan kerakusan ini menciptakan kegaduhan yang meluas, yang kemudian berakumulasi menjadi konflik yang lebih besar.
Insiden tersebut menambah ketegangan yang berujung pada Perang Diponegoro, sebuah konflik vital yang mengubah wajah sejarah Indonesia. Tindakan semena-mena pejabat kolonial menjadi landasan pertikaian, menciptakan stratum sosial yang lebih dalam di antara para pihak yang terlibat.
Skandal Selingkuh dan Kehidupan Sosial di Yogyakarta
Seiring dengan waktu, praktik perselingkuhan semakin meluas dan menjadi hal yang tradisional di kalangan pejabat kolonial. Beberapa pejabat yang terlibat tidak segan-segan meminta bantuan tokoh dalam istana untuk memperoleh akses kepada perempuan lokal. Contoh paling terang adalah Mayor Tumenggung Wironegoro, yang dikenal sebagai perantara bagi pejabat Eropa untuk menemukan pasangan di kalangan perempuan keraton.
Dengan kondisi Yogyakarta yang terisolasi dari Belanda dan minimnya pengawasan, banyak pejabat kolonial merasa seolah-olah beroperasi dalam ruang yang aman. Kebijakan jarak geografis ini secara efektif melindungi mereka dari konsekuensi sosial yang biasanya dihadapi oleh perilaku menyimpang.
Ini menunjukkan betapa kompleksnya dinamika sosial yang terjadi di masa itu dan bagaimana kekuasaan menciptakan ruang bagi tindakan yang tidak etis dan melanggar norma. Sejarah ini mengajarkan banyak tentang bagaimana pelanggaran moral dapat mengakibatkan dampak jangka panjang tidak hanya untuk individu, tetapi juga untuk masyarakat secara keseluruhan.
















