Meski serial Aema menghadirkan aspek pole dancing dengan pendekatan yang lebih modern, kenyataan bagi para penari tiang di Korea masih dibayangi stigma dan pelecehan yang mengingatkan pada era 1980-an. Di Studio OhHaUn Pole Dance yang terletak di Distrik Yangcheon, Seoul, instruktur Kim Si-yeon menegaskan bahwa adegan tersebut memberi kesan mendalam bagi guru dan muridnya.
“Meski hanya berdurasi beberapa detik, banyak orang terkesan karena itu menunjukkan pole dancing sebagai olahraga sejati, bukan sekadar objek seksual,” ungkap Kim. “Sebenarnya, mereka yang berlatih dua atau tiga kali dalam seminggu memerlukan minimal satu tahun pembelajaran rutin untuk mencapai tingkat keterampilan tersebut.”
Ia juga menyoroti bahwa prasangka terhadap seni ini seringkali menjadi pemicu pelecehan seksual. “Hampir setiap hari kami menerima panggilan atau pesan yang tidak pantas. Sering kali, kami mendapat telepon tengah malam yang menanyakan apakah kami mau menari telanjang untuk uang. Terkadang, video kelas kami diunggah secara online dengan komentar cabul tentang tubuh instruktur atau murid.”
Menelusuri Stigma Terhadap Pole Dancing di Korea
Stigma yang melekat pada pole dancing di Korea sering kali berasal dari pandangan konservatif masyarakat. Banyak orang masih menganggap seni ini sebagai kegiatan yang berfokus pada seksualitas, bukan sebagai bentuk olahraga yang serius. Hal ini bisa menciptakan banyak hambatan bagi mereka yang ingin belajar atau mengembangkan keterampilan ini.
Jika kita melihat lebih dalam, pole dancing sebenarnya memiliki sejarah yang kaya dan sudah ada jauh sebelum ia menjadi tren modern. Banyak penari terampil yang berusaha mengubah persepsi ini, dan mereka berjuang keras untuk menunjukkan bahwa pole dancing adalah bentuk seni dan kebugaran yang legit.
Di banyak negara, pole dancing sudah diakui sebagai olahraga resmi dan bahkan menjadi bagian dari kompetisi internasional. Namun, di Korea, masih banyak tantangan yang harus dihadapi baik oleh penari profesional maupun amatir dalam membongkar citra negatif yang ada.
Kasus Pelecehan dan Kejahatan Seksual yang Mengintai
Belum lama ini, terjadi beberapa kasus kriminal yang mencerminkan pelanggaran serius terhadap keselamatan para penari. Pada Oktober 2023, seorang pria di Busan dijatuhi hukuman empat bulan penjara karena tertangkap basah sedang melakukan tindakan tidak senonoh saat menyaksikan wanita di dalam studio. Kondisi ini menunjukkan betapa rentannya para penari tiang terhadap pelecehan seksual.
Sebuah kasus lain yang mencolok terjadi di Seoul, di mana seorang pelaku yang sudah memiliki catatan kriminal menguntit kelas pole dance hingga enam sesi. Kasus-kasus semacam ini menunjukkan perlunya perhatian lebih terhadap keamanan dan perlindungan bagi para penari.
Ada pula lapisan lain dari masalah ini, di mana para penari merasa tertekan untuk terus maju meskipun sering mendapat komentar negatif dan pelecehan. Hal ini menyebabkan banyak dari mereka yang terpaksa menghadapi situasi tidak nyaman di tempat kerja, sebuah kondisi yang harus diubah agar komunitas penari tiang bisa berkembang dengan lebih positif.
Membangun Komunitas dan Kesadaran yang Positif
Secara keseluruhan, ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kesadaran tentang pole dancing sebagai bentuk seni dan olahraga yang sah. Komunitas penari perlu bersatu untuk melawan stigma dan mendorong orang lain untuk memahami manfaat dan keindahan yang terkandung di dalamnya. Pendidikan dan kampanye kesadaran publik bisa menjadi langkah awal.
Proses ini tidak akan mudah, tetapi dengan kerja sama yang kuat antara penari, instruktur, dan masyarakat, stigma negatif dapat dihancurkan perlahan-lahan. Kegiatan yang melibatkan pembelajaran bersama juga bisa membantu meningkatkan pemahaman tentang teknik dan filosofi di balik pole dancing.
Melalui program seminar atau lokakarya yang melibatkan pelatih berlisensi, masyarakat bisa diajak untuk melihat bahwa pole dancing bukan hanya sekadar tarian, tetapi juga merupakan bentuk olahraga yang menuntut disiplin, ketekunan, dan bakat.