Kepekaan terhadap kondisi sosial menjadi tanggung jawab setiap individu. Salah satu tokoh yang sangat mempresentasikan hal ini adalah Soerjopranoto, seorang bangsawan yang memilih meninggalkan kehidupan mewahnya demi membela masyarakat yang tertekan oleh penjajahan.
Soerjopranoto, putra dari Pangeran Haryo Soerjaningrat dan adik Ki Hajar Dewantara, awalnya memiliki masa depan yang cerah sebagai calon Raja Jawa. Namun, setelah mengalami perubahan dalam garis keturunan akibat kebutaan ayahnya, hidupnya berubah total. Dia menyadari bahwa kemakmuran yang dinikmatinya tidak sebanding dengan penderitaan rakyat yang berada di bawah penjajahan.
Dengan pendidikan yang mengajarkan penghormatan terhadap sesama, Soerjopranoto berinteraksi dengan anak-anak dari latar belakang ekonomi yang jauh lebih rendah. Di sini muncul empati yang mendalam terhadap rakyat yang menderita. Dia melihat secara langsung bagaimana hidup dalam kemewahan kontras dengan nasib orang-orang di sekitarnya.
Perjuangan Melawan Ketidakadilan Sosial di Indonesia
Pada usia 30 tahun, hidup Soerjopranoto mengalami titik balik. Dalam autobiografinya yang berjudul Raja Mogok: R.M Soerjopranoto, ia menulis tentang pengalamannya menangis melihat penderitaan masyarakat akibat kebijakan politik penjajahan. Melihat para buruh perkebunan hanya mendapatkan gaji yang jauh dari layak, dia merasa tergerak untuk bertindak.
Kedudukannya sebagai bangsawan mulai terasa tidak berarti saat menyaksikan penderitaan rakyat. Sejak saat itu, Soerjopranoto bertekad untuk memutus hubungan dengan sistem kolonial yang berkolusi dengan kemewahan. Dia menolak untuk bekerja untuk pemerintah Belanda dan melanggar semua norma yang mengikatnya sebagai bangsawan.
Ketika bekerja di Dinas Pertanian, ia menunjukkan keberanian luar biasa. Dengan berani menempeleng atasannya yang berkebangsaan Belanda dan merobek ijazahnya, dia mengekspresikan penolakannya terhadap sistem yang dihadapinya. Ini adalah titik tolak yang menegaskan komitmennya untuk melawan ketidakadilan.
Perjuangan untuk Kesejahteraan Rakyat
Mulai awal 1900-an, Soerjopranoto meninggalkan kehidupan istana yang glamor dan memilih untuk hidup sederhana. Dia aktif membela rakyat melalui pengajarannya di Taman Siswa dan berjuang untuk hak-hak buruh melalui organisasi Boedi Oetomo dan Sarekat Islam. Dengan semangat yang membara, dia memperjuangkan perubahan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Aktivitasnya tidak hanya sebatas pada pendidikan, tetapi juga pada gerakan perlawanan. Shiraishi mencatat bahwa dia tidak hanya aktif di Boedi Oetomo, tetapi juga dalam Sarekat Islam, dua organisasi penting yang berkontribusi pada pergerakan nasional. Gerakan buruh yang dipimpinnya adalah salah satu langkah paling signifikan yang pernah dilakukan.
Soerjopranoto tercatat sebagai individu pertama yang memimpin demonstrasi besar buruh dalam sejarah Indonesia. Keberhasilan ini membuat pemerintah kolonial marah, menjadikannya sebagai salah satu tokoh yang ditakuti. Oleh sebab itu, ia dikenal dengan julukan “raja mogok”, sebuah gelar yang mencerminkan kepemimpinannya dan keberaniannya.
Menyongsong Kemerdekaan dan Warisan Abadi
Setelah perjuangan panjang, Indonesia akhirnya meraih kemerdekaan pada tahun 1945. Soerjopranoto tidak melupakan idealismenya meskipun hidup dalam kesederhanaan. Dia memilih untuk tetap berada di tengah masyarakat, hidup tanpa kekayaan, dan terus berjuang untuk perubahan hingga akhir hayatnya pada 15 Oktober 1959.
Dia dijadikan simbol perjuangan rakyat dan dihormati oleh bangsa, dimakamkan di Yogyakarta dengan status Pahlawan Nasional oleh mantan Presiden Soekarno. Warisan yang ditinggalkannya adalah kebangkitan semangat nasionalisme dan kesadaran sosial yang harus terus dijaga oleh generasi penerus.
Pendidikan dan peningkatan kondisi masyarakat tetap menjadi perhatian utama bagi Soerjopranoto. Dari tiap langkah dan pemikirannya, ia mengajarkan generasi mendatang bahwa kemewahan tanpa empati hanyalah kebohongan belaka. Seharusnya, keadilan sosial dan perhatian terhadap sesama menjadi prioritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.