Pada tanggal 17 Agustus, seluruh rakyat Indonesia bersuka cita merayakan hari kemerdekaan. Momen ini diperingati sebagai bentuk penghormatan bagi perjuangan panjang bangsa untuk meraih kemerdekaan dari tangan penjajah yang telah menindas selama ratusan tahun.
Selama berabad-abad, rakyat hidup dalam berbagai bentuk penindasan, yang membuat mereka berjuang keras untuk memperoleh hak atas kebebasan. Namun, di balik perjuangan ini, ada fenomena menarik yang jarang menjadi perbincangan, yaitu tentang dukun dan praktik santet yang dipercaya oleh sebagian masyarakat.
Dengan adanya kepercayaan akan keberadaan dukun santet, muncul pertanyaan logis: apabila kemampuan santet tersebut nyata, mengapa para dukun tidak memanfaatkannya untuk menumbangkan penjajah? Bukankah itu dapat mempercepat datangnya kemerdekaan yang sangat dinanti-nanti?
Menggali Rahasia Praktik Santet di Indonesia
Menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa merujuk pada analisis dari Claude Levi-Strauss, seorang antropolog asal Prancis yang mendalami praktik budaya dan keyakinan masyarakat. Dalam karya terkenalnya, Levi-Strauss menjelaskan bahwa kepercayaan akan sihir pada umumnya bersifat kompleks dan berhubungan dengan kepercayaan individu serta masyarakat.
Levi-Strauss menjelaskan dalam tulisannya bahwa masyarakat tradisional di berbagai belahan dunia, termasuk Prancis, sering menghampiri dukun daripada dokter dalam mencari obat bagi penyakit. Mereka percaya bahwa penyakit sering kali berhubungan langsung dengan praktik sihir, yang mengarah kepada sikap kepercayaan yang mendalam terhadap para dukun.
Di Indonesia, fenomena ini terlihat melalui berbagai tradisi ritual yang dilakukan oleh dukun, seperti mengeluarkan benda asing dari tubuh seseorang. Meskipun terlihat aneh, menurut Levi-Strauss, ada keyakinan mendasar yang mengikat praktik tersebut dalam konteks sosial dan budaya yang lebih besar.
Pentingnya Kepercayaan dalam Sihir dan Santet
Menurut Levi-Strauss, efektivitas praktik sihir, termasuk santet, sangat bergantung pada kepercayaan dari berbagai pihak. Pertama, dukun harus memiliki keyakinan yang kuat terhadap teknik yang digunakan dalam praktiknya. Hal ini sering didukung oleh cerita-cerita sukses yang membuat pasien merasa yakin akan keberhasilan pengobatan tersebut.
Kedua, orang yang menjadi korban atau pasien juga harus percaya pada kekuatan sang dukun. Keyakinan ini bisa muncul dari kondisi emosional, di mana individu yang merasakan putus asa cenderung lebih terbuka untuk mencari bantuan dari dukun. Pada akhirnya, keyakinan ini dapat berperan signifikan dalam menentukan berhasil tidaknya praktik sihir tersebut.
Ketiga, dukungan dari lingkungan sosial sehubungan dengan kepercayaan terhadap dukun juga menjadi elemen kunci. Dalam hal ini, keterlibatan masyarakat dapat mempengaruhi persepsi dan keyakinan individu terhadap praktik santet dan sihir.
Kompleksitas Ritual dan Efektivitas Santet dalam Sejarah
Levi-Strauss menyebut interaksi ketiga aspek tersebut sebagai “Kompleks Shaman.” Dengan kata lain, jika salah satu dari unsur tersebut tidak ada, maka efektivitas praktik santet bisa jadi tidak terjamin. Keberadaan kepercayaan yang kokoh dari dukun, pasien, dan masyarakat adalah sinergi yang vital untuk membuat praktik tersebut berhasil.
Jika kita menggali lebih dalam, pertanyaan mengenai mengapa dukun di Indonesia tidak mengarahkan sihir mereka terhadap penjajah Belanda bisa dijelaskan melalui lensa analisis ini. Penjajah Belanda sebagai objek dari praktik sihir tersebut mungkin tidak percaya akan keberadaan dukun dan sihir, yang menjadi unsur kedua yang hilang dalam konteks ini.
Sehingga, meski dukun dan masyarakat Indonesia meyakini keampuhan praktik ini, tanpa adanya kepercayaan dari penjajah, santet tidak akan memberikan dampak yang diharapkan. Dalam konteks ini, kenyataan bahwa ketiga elemen dalam “Kompleks Shaman” harus saling terikat semakin menguatkan argumen tersebut.
Kesimpulannya, meskipun dukun dan praktik santet memiliki sejarah panjang dalam kebudayaan Indonesia, efektivitasnya sangat tergantung pada kepercayaan yang ada di antara semua pihak yang terlibat. Hal ini menunjukkan bagaimana budaya dan psikologi kolektif masyarakat mempengaruhi keyakinan serta praktik yang dianggap sebagai bagian dari tradisi.
Dalam dunia modern saat ini, penting untuk memahami dinamika ini sebagai bagian dari warisan budaya yang mencerminkan kompleksitas psikologis serta sosial-nya. Dengan mempelajari dan menghargai aspek-aspek ini, kita dapat mengambil pelajaran berharga dari masa lalu yang terus relevan dalam memahami keadaan kita sekarang.