Seorang ibu meluangkan waktu untuk berbagi kisahnya yang mengecewakan mengenai perjalanan udara bersama anaknya yang berkebutuhan khusus. Ia menegaskan bahwa selama dua dekade terakhir, tidak ada kemajuan signifikan untuk memenuhi kebutuhan penumpang difabel di sistem penerbangan.
Kisah ini bermula ketika Kirsty Diaso dan anaknya, Andre, terbang dari Dublin ke Warsawa. Andre, yang baru berusia 3,5 tahun, menderita cerebral palsy, quadriplegia, dan juga tunanetra, sehingga bergantung pada kursi rodanya untuk bergerak.
Penerbangan itu menjadi pengalaman yang sangat mengesankan tetapi juga penuh tantangan bagi Diaso. Setelah menggunakan ambulift OCS, ia menyadari bahwa kursi roda Andre ternyata tertinggal di Dublin, meskipun mereka sudah melakukan semua prosedur yang diperlukan.
Masalah Dalam Penerbangan dan Komunikasi yang Buruk
Setelah mendarat, staf bandara memberitahu bahwa kursi roda Andre tidak dibawa dalam penerbangan. Diaso merasa sangat frustasi ketika diberitahu bahwa ia harus menggendong anaknya, yang jelas tidak sebanding dengan harapan mereka selama perjalanan.
Selama berada di bandara Polandia, Diaso merasa tertekan menghadapi situasi yang tidak terduga. Ia harus mengelola barang-barang bawaannya sambil juga menggendong Andre, yang merupakan beban tambahan yang berat.
Tidak hanya itu, Diaso juga menghadapi tantangan besar untuk bergerak tanpa kursi roda. Ia terpaksa menghabiskan waktu yang sulit dalam tiga hari tanpa alat bantu yang sangat diperlukan bagi anaknya.
Pengalaman Frustrasi di Warsawa dan Kehilangan Martabat
Setelah tiba di Warsawa, Diaso harus tinggal di apartemen dan merasakan dampak nyata dari hilangnya kursi roda. Ini menjadi hal yang sangat sulit bagi mereka, terutama saat ia harus berusaha membeli kebutuhan dasar seperti air minum.
Situasi semakin memburuk ketika Diaso berusaha menghentikan masalah ini melalui pengisian formulir kehilangan bagasi. Ia merasa tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari maskapai penerbangan.
Ketika staf hanya menawarkan kursi roda berukuran dewasa sebagai alternatif untuk Andre, Diaso merasa bahwa ini adalah keputusan yang sangat tidak tepat. Andre merasa sangat tertekan dan bingung dalam situasi tersebut, jauh dari kenyamanan yang biasanya dimilikinya.
Tindakan Maskapai dan Akibatnya bagi Keluarga Difabel
Setelah beberapa waktu, Ryanair akhirnya mengirimkan kursi roda tersebut ke Polandia. Namun, ketika kursi itu tiba, Diaso menemukan bahwa kondisinya jauh dari baik. Dudukan kaki kursi roda lepas dan mekanisme lipatnya menjadi sulit digunakan.
Ini adalah pukulan kedua bagi Diaso dan Andre, karena mereka sudah menghadapi cukup banyak kesulitan selama perjalanan. Diaso pun mengemukakan bahwa alat bantu gerak yang seharusnya memberikan kenyamanan justru menjadi sumber stres dan frustasi.
Kondisi ini sangat mengecewakan, mengingat kursi roda tersebut memiliki nilai yang tidak sedikit. Diaso mendapati bahwa kursi roda senilai ratusan juta rupiah tersebut tidak bisa diperbaiki, sehingga menambah beban emosional yang harus mereka hadapi.
Refleksi Mengenai Kebutuhan Difabel di Industri Penerbangan
Pengalaman Diaso membuka mata banyak orang tentang kenyataan yang dihadapi oleh penumpang difabel saat melakukan perjalanan udara. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa perjalanan seharusnya yang dilakukan dengan nyaman dapat menjadi kegiatan yang menegangkan bagi mereka.
Dia berharap bisa menjadi suara bagi mereka yang tertindas dan mendorong perubahan positif dalam sistem penerbangan untuk penumpang dengan kebutuhan khusus. Diaso merasa bahwa hak-hak dasarnya dan hak putranya untuk mendapatkan kenyamanan sama sekali tidak diperhatikan.
Situasi seperti ini memberikan pelajaran penting bagi semua pihak, terutama bagi maskapai penerbangan untuk lebih peka terhadap penumpang difabel. Sudah saatnya semua orang memperhatikan dan melakukan yang terbaik untuk menghormati dan mendukung kenyamanan penumpang difabel.