Jakarta, Indonesia – Situasi di Timur Tengah telah menjadi sorotan dunia, terutama konflik berkepanjangan yang melibatkan Israel dan Palestina. Keterlibatan masyarakat global, termasuk Indonesia, semakin terlihat melalui aksi nyata seperti demonstrasi dan penggalangan bantuan kemanusiaan.
Solidaritas masyarakat Indonesia tidak hanya terbatas pada bantuan fisik, namun juga dalam bentuk dukungan moral melalui berbagai forum diplomatik. Namun, ada satu cara yang belum banyak dibahas: penggunaan jalur spiritual sebagai bentuk perlawanan.
Dalam tradisi Indonesia, praktik-praktik spiritual dan supranatural seperti santet sudah menjadi hal yang lazim. Di tengah geopolitik yang kompleks ini, muncul pertanyaan intrigu: mengapa praktik-praktik ini tidak dimanfaatkan untuk melawan kekuatan tersebut secara metafisik?
Pertanyaan ini terlihat aneh, namun sangat menarik untuk dibahas secara rasional. Untuk memahami fenomena ini, kita dapat menggunakan perspektif antropologis yang membantu menjelaskan bagaimana kekuatan ghaib masih dipercaya banyak orang.
Salah satu tokoh penting dalam kajian ini adalah Claude Levi-Strauss. Pada tahun 1949, ia menulis sebuah karya berjudul “Dukun dan Sihirnya” yang menjelaskan praktik dukun di Prancis yang mirip dengan yang ada di Indonesia.
Levi-Strauss menunjukkan bahwa masyarakat tradisional Prancis pada masa itu menganggap penyebab berbagai penyakit adalah sihir. Mereka lebih memilih berkunjung ke dukun ketimbang dokter untuk mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi.
Para dukun biasanya melakukan ritual yang beragam, seperti mengeluarkan benda asing dari tubuh pasien. Praktik ini memiliki banyak kemiripan dengan teknik dukun di Indonesia, meskipun Levi-Strauss menyebutnya tak sepenuhnya dapat dipercaya.
Prinsip Dasar Praktik Santet dalam Budaya Indonesia
Levi-Strauss mengungkapkan bahwa efektivitas praktik sihir, termasuk santet, sangat bergantung pada tiga unsur yang saling terkait. Pertama, kepercayaan sang dukun terhadap metode dan teknik yang digunakan. Kepercayaan ini memainkan peran penting dalam kesuksesan setiap ritual yang dilakukan.
Kedua, pasien atau orang yang menjadi target sihir harus percaya akan kemampuan dukun. Kepercayaan ini sering kali muncul dari kondisi emosional yang membuat mereka merasa tertekan atau kehilangan harapan.
Ketiga, dukungan dari masyarakat sekitar juga berfungsi menambah keyakinan dukun dan mempengaruhi pikiran pasien. Dalam konteks ini, jika lingkungan sosial mendukung perihal kepercayaan terhadap dukun, maka kemungkinan efektivitas ritual semakin besar.
Misalnya, seseorang yang awalnya skeptis terhadap praktik sihir bisa terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya yang percaya akan hal tersebut, sehingga muncul keyakinan baru terhadap dukun dan santet.
Dari penjelasan ini, jelaslah bahwa jika satu dari tiga unsur tersebut hilang, maka praktik santet kemungkinan besar gagal. Di sini, kepercayaan menjadi elemen kunci bagi dukun, pasien, dan masyarakat. Levi-Strauss menyebut gabungan ini sebagai “Kompleks Shaman”.
Analisis Kompleks Shaman dalam Menghadapi Konflik Global
Kembali ke pertanyaan awal tentang efektivitas santet terhadap tentara Israel. Jika kita menggunakan prinsip “Kompleks Shaman”, penting untuk mempertanyakan apakah tentara Israel, yang terletak jauh dari Indonesia, memiliki kepercayaan terhadap praktik dukun.
Artinya, meskipun dukun dan masyarakat Indonesia percaya, tentara Israel mungkin tidak. Dalam hal ini, hanya dua dari tiga unsur yang terpenuhi, sehingga efektivitas santet menjadi terhambat.
Tanpa kepercayaan dari pihak yang menjadi target sihir, setiap upaya ritual tidak akan berjalan sesuai harapan. Ini menunjukkan betapa pentingnya korelasi antara pikiran dan kepercayaan untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Penting juga untuk mengetengahkan bahwa prinsip-prinsip ini dapat diterapkan pada berbagai konteks, termasuk pengalaman masyarakat Indonesia di masa penjajahan Belanda. Pada era tersebut, keberadaan unsur kepercayaan yang tidak saling berhubungan juga mengakibatkan kegagalan praktik sihir.
Dengan kata lain, ketidakmampuan dukun untuk “memberantas” musuh yang kuat dalam sejarah bukan semata-mata karena kurangnya kemampuan, tetapi juga karena kekurangan dalam aspek kepercayaan dari pihak korban.
Memahami Kepercayaan dan Realitas dalam Praktik Spiritual Indonesia
Persepsi tentang kekuatan ghaib dalam masyarakat Indonesia menunjukkan pentingnya kepercayaan kolektif. Ketika sebuah masyarakat secara keseluruhan meyakini bahwa praktik santet memiliki kekuatan, keefektifan ritual tersebut dapat meningkat.
Namun, ketika ritual tersebut diarahkan pada orang dari budaya dan kepercayaan yang berbeda, efektivitasnya berkurang. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa pengaruh sosial dan budaya sangat menentukan dalam keberhasilan praktik-praktik spiritual.
Adalah penting untuk menyadari bahwa meski praktik ini telah ada selama berabad-abad, tidak semua orang di Indonesia bahkan memahami bagaimana dan mengapa santet dapat bekerja. Banyak yang hanya tahu sebagai tradisi tanpa memahami kedalaman aspek psikologis di baliknya.
Dari sudut pandang antropologis, metodologi yang digunakan untuk menganalisis kepercayaan ini penting agar kita bisa memahami tidak hanya praktik itu sendiri, tetapi juga dampaknya dalam konteks sosial. Oleh karena itu, meskipun praktik spiritual terbuka untuk keyakinan, realitas kekuatan yang berfungsi di dalamnya sangat bergantung pada konteks budaya dan situasional.
Dengan demikian, kepercayaan terhadap kekuatan ghaib tetap menjadi bagian integral dari budaya, meskipun dalam konteks konflik global, hal ini terasa konyol jika tidak dipahami secara lebih mendalam.