Jakarta mengalami perubahan signifikan pada penggunaan bahan bakar minyak subsidi dan non-subsidi. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan bahwa migrasi pengguna bensin subsidi, khususnya RON 90 atau Pertalite, semakin meningkat, menggambarkan tren pasar yang berbeda dalam dunia energi.
Data yang dipaparkan oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi dari Kementerian ESDM, Laode Sulaeman, menunjukkan bahwa total konsumsi BBM non-subsidi mencapai 6,86 juta kiloliter pada tahun 2024. Kenaikan ini mencerminkan perubahan kebiasaan konsumen di tengah berbagai kebijakan pemerintah yang memengaruhi sektor energi.
Pada periode Januari hingga Juli tahun 2025, total market share BBM non-subsidi meningkat menjadi 4,75 juta kiloliter. Pertamina, sebagai pemimpin pasar, mencatat penjualan sebesar 4,03 juta kiloliter, sedangkan operator lain mendapatkan market share lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya.
Perubahan Signifikan dalam Konsumsi BBM di Indonesia
Pembangunan infrastruktur dan peningkatan kesadaran lingkungan juga memengaruhi perubahan ini. Masyarakat semakin jeli dalam memilih jenis bahan bakar yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Laode juga mencatat bahwa penjualan harian Pertalite mengalami penurunan yang signifikan selama tahun ini.
Pada tahun 2025, Pertalite tercatat terjual sebanyak 76.970 kiloliter, jauh menurun dibandingkan penjualan sebelumnya yang mencapai 81.106 kiloliter. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen mungkin beralih ke alternatif energi yang lebih ekonomis dan efisien.
Meskipun penjualan BBM subsidi mengalami penurunan, penjualan BBM non-subsidi justru meningkat. Data menunjukkan bahwa penjualannya melonjak menjadi 22.723 kiloliter dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 19.061 kiloliter. Ini adalah pertanda positif bagi sektor energi non-subsidi.
Analisis Dampak Migrasi ke BBM Non-Subsidi
Pergerakan konsumen menuju BBM non-subsidi membawa implikasi penting bagi kebijakan energi nasional. Laode menjelaskan bahwa penurunan kompensasi untuk Pertalite diproyeksikan mencapai angka signifikan, yaitu dari Rp 48,9 triliun menjadi Rp 36,314 triliun. Hal ini diharapkan dapat memberikan efisiensi total sebesar Rp 12,6 triliun.
Estimasi penjualan bensin subsidi yang menurun sekitar 1,4 juta kiloliter menunjukkan bahwa masyarakat semakin beradaptasi dengan tren pasar baru. Sebaliknya, penjualan bensin non-subsidi diperkirakan akan meningkat sebesar 0,8 juta kiloliter, mencerminkan pergeseran preferensi konsumen.
Dengan demikian, peningkatan penjualan non-subsidi hingga 7 juta kiloliter menjadi sinyal bahwa masyarakat lebih memilih produk yang tidak mendapatkan subsidi. Ini mencerminkan kesadaran akan manfaat ekonomi jangka panjang dalam penggunaan sumber energi alternatif.
Prospek Masa Depan Bahan Bakar Non-Subsidi di Indonesia
Kedepannya, sektor energi Indonesia bisa menghadapi tantangan dan peluang baru terkait dengan kebijakan energi. Menurut Laode, prediksi penjualan bensin non-subsidi dari merek lain, non-Pertamina, akan mengalami pertumbuhan yang drastis, diperkirakan mencapai 1,35 juta kiloliter pada tahun 2025.
Kenaikan signifikan ini, yaitu sebesar 0,64 juta kiloliter atau 91,3%, menunjukkan bahwa pelaku pasar mulai mengadopsi inovasi dan teknologi yang lebih efisien. Konsumen, pada gilirannya, akan semakin teredukasi tentang pilihan energi yang lebih berkelanjutan dan menguntungkan.
Dalam menghadapi permintaan yang terus meningkat, Pertamina juga diharapkan terus berinovasi dan meningkatkan pasokan. Langkah ini penting agar dapat memenuhi kebutuhan pasar yang semakin beragam dan responsif terhadap perubahan kebijakan energi.