Dalam konteks global yang semakin rumit, krisis di Gaza dan Afghanistan menarik perhatian dunia. Kebangkitan konflik dan penderitaan manusia yang berkepanjangan mengundang kritik terhadap respons negara-negara Muslim, terutama melalui organisasi-organisasi internasional seperti OKI.
Profesor Emeritus Studi Timur Tengah dan Asia Tengah, Amin Saikal, merupakan salah satu suara yang mengemukakan keprihatinannya. Menurutnya, kinerja OKI dalam menangani dua krisis tersebut sangat memprihatinkan dan jauh dari harapan banyak umat Muslim.
Ia menegaskan bahwa meskipun OKI memiliki potensi untuk menjadi kekuatan strategis bagi negara-negara Muslim, namun tindakan nyata yang diambil selama ini sangat minim. Hal ini berpengaruh pada kemampuan OKI untuk memberikan solusi yang efektif bagi kedua krisis yang semakin memburuk.
OKI: Antara Retorika dan Aksi Nyata dalam Krisis Gaza dan Afghanistan
OKI, yang seharusnya bertindak sebagai suara kolektif umat Muslim, justru diwarnai oleh banyaknya pernyataan namun minim tindakan. Serangan Israel terhadap Gaza memperlihatkan ketidakmampuan organisasi ini untuk mempengaruhi negara-negara tetangga, seperti Mesir dan Yordania, dalam membuka akses bantuan kemanusiaan.
Bukan hanya itu, OKI juga gagal untuk mendesak negara-negara yang menjalin hubungan dengan Israel untuk menangguhkan kerja sama sampai solusi dua negara bisa dicapai. Ini menunjukkan bahwa keberhasilan diplomasi penting tidak berbanding lurus dengan kekuatan retorika.
Seruan untuk menghentikan Israel dari partisipasi dalam PBB juga tidak mendapatkan perhatian yang seharusnya, mengindikasikan bahwa OKI belum mampu berfungsi maksimal dalam memberikan dukungan kepada Palestina. Seluruh ketidakberdayaan ini memperjelas kekosongan dalam tindakan politik nyata yang dapat diambil oleh organisasi tersebut.
Peran OKI dalam Krisis Afghanistan: Antara Harapan dan Kekecewaan
Krisis di Afghanistan juga menghadapi tantangan serupa, di mana OKI terkesan tidak berdaya menghadapi pemerintahan Taliban yang otoriter. Salah satu kebijakan paling kontroversial adalah larangan pendidikan bagi anak perempuan, yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang jelas.
Seruan untuk tindakan nyata oleh OKI dalam menanggapi keputusan Taliban tidak berbuah hasil. Dalam berbagai kesempatan, meskipun ada ajakan untuk bersatu, respons OKI terhadap kebijakan ekstremis masih sangat lemah.
Seiring berjalannya waktu, OKI dan negara-negara Muslim juga tampaknya lebih fokus pada kepentingan politik yang beragam, bukan pada upaya bersama untuk mendukung hak-hak asasi manusia di Afghanistan. Ketidakpahaman ini menciptakan suatu kondisi di mana pembicaraan hanya menjadi formalitas belaka.
Penyebab Ketidakberdayaan OKI dalam Menghadapi Krisis Global
Amin Saikal menjelaskan bahwa beberapa faktor menjadikan OKI tidak efektif dalam menangani krisis. Pertama, negara anggota OKI belum bisa mengatasi perbedaan geopolitical dan sektarian yang ada di antara mereka. Ketidakpuasan antar anggota menjadi penghalang untuk membangun solusi bersama.
Di tengah persaingan yang semakin ketat, baik di antara negara-negara anggota OKI maupun kekuatan besar lain seperti AS dan Cina, diskusi yang hanya berlangsung tanpa tindakan konkret nyatanya menjadi beban tambahan. Hal ini menciptakan lingkungan yang tidak kondusif untuk pengambilan keputusan yang efektif.
Momen di mana OKI seharusnya bersinar, justru berakhir dengan kegagalan untuk mengatasi isu-isu yang mendesak. Saikal mendorong perlunya evaluasi menyeluruh atas fungsi OKI agar lebih responsif terhadap tantangan yang ada dan bisa menyatukan umat dalam perjuangan yang lebih nyata.