Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Belanda pada Kamis lalu menjadi sorotan, terutama karena pertemuannya dengan Raja Willem Alexander dan Perdana Menteri Belanda. Momen ini menciptakan peluang untuk memperkuat hubungan dua negara dan menggali potensi kerja sama di berbagai bidang, yang sebelumnya sempat terhambat oleh sejarah masa lalu.
Meskipun disambut hangat, kedatangan Prabowo berbeda jauh dengan kunjungan Presiden Soeharto pada tahun 1970. Kunjungan Soeharto yang pertama kali ke Belanda saat itu diwarnai dengan berbagai aksi unjuk rasa yang berujung pada aksi anarkis.
Kedatangannya pada 4 September 1970, meski ditunggu banyak pihak, justru dibayangi oleh ketegangan yang cukup besar. Para pendukung Republik Maluku Selatan (RMS) melakukan serangkaian tindakan ekstrem yang membuat kehadiran Soeharto terancam.
Momen Bersejarah dalam Kunjungan Pertama Soeharto ke Belanda
Pada 31 Agustus 1970, Soeharto dijadwalkan mengunjungi Belanda, menjadikannya sebagai presiden pertama Indonesia yang melakukan kunjungan resmi ke negara tersebut. Sebelumnya, Presiden Soekarno menolak tawaran kunjungan, masih memendam rasa sakit akibat jajahan kolonial.
Ketika kunjungan Soeharto tiba, sekelompok pemuda yang menyebut diri mereka sebagai bagian dari RMS memanfaatkan kesempatan itu untuk menyampaikan aspirasi politik mereka. RMS sendiri adalah gerakan separatis yang lahir pada 1950, bertujuan untuk memisahkan Maluku dari Indonesia.
Gerakan tersebut timbul akibat kekecewaan masyarakat Maluku terhadap transisi pemerintahan setelah Republik Indonesia Serikat. Sejak saat itu, RMS berhasil menarik perhatian di Belanda dan menjadi sorotan media lokal.
Kekacauan Saat Kunjungan Resmi Pertama Soeharto
Menjelang kedatangan Soeharto, situasi semakin memanas dengan aksi penyanderaan yang dilakukan sekelompok pemuda RMS. Mereka berusaha memaksa pemerintah untuk mengakui eksistensi RMS, yang disampaikan melalui penyanderaan terhadap keluarga Duta Besar RI di Den Haag.
Penyanderaan tersebut menciptakan kekacauan dan memaksa pemerintah Belanda untuk bereaksi cepat. Mereka mengerahkan mobil lapis baja untuk mengamankan situasi dan memastikan keselamatan diplomat Indonesia.
Kejadian ini mencapai titik kritis ketika akhirnya pemerintah Belanda mengambil langkah tegas terhadap para pelaku. Dalam waktu singkat, sebagian dari mereka berhasil ditangkap, meskipun dalam insiden itu, seorang polisi Belanda juga kehilangan nyawa.
Tindakan Pemerintah Belanda untuk Mengatasi Ketegangan
Pemerintah Belanda merespons dengan membuat pernyataan resmi dan meminta maaf kepada Indonesia atas insiden yang terjadi. Strategi mereka termasuk larangan demonstrasi dan penangkapan para pendukung RMS yang berpotensi menimbulkan gangguan.
Setelah melewati beberapa hari penuh ketegangan, Soeharto akhirnya tiba di Belanda pada 3 September 1970. Ia disambut oleh Ratu Juliana dan kerabat kerajaan, meskipun kehadirannya tidak sedemikian meriah seperti yang diharapkan.
Untuk menjamin keselamatan, perjalanan Soeharto dari bandara ke Istana Huis ten Bosch dilakukan dengan helikopter. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya situasi keamanan saat itu, mengingat banyak warga yang ingin menyambutnya tidak diperbolehkan masuk.
Momen Dialektika Kunjungan: Keselamatan vs. Diplomasi
Setelah upacara penyambutan yang berlangsung singkat, Soeharto langsung menghadiri pertemuan dengan Perdana Menteri Belanda dan anggota kabinet lainnya. Agenda pertemuan ini berfokus pada masalah bilateral yang perlu diselesaikan demi kepentingan kedua negara.
Setelah pertemuan, Soeharto tidak lama kemudian meninggalkan Belanda dan meneruskan perjalanan ke Jerman. Meskipun kunjungan tersebut berlangsung dalam situasi yang sangat tegang, akhirnya Soeharto kembali ke Tanah Air dengan selamat.
Kunjungan itu menjadi babak penting dalam sejarah diplomasi Indonesia, membuka jalan bagi hubungan yang lebih baik antara kedua negara meskipun diliputi berbagai konflik di awal perjalanannya. Situasi saat itu menunjukkan bagaimana diplomasi dapat berjalan di tengah tantangan yang ada.