Peristiwa bersejarah dalam hubungan diplomatik Indonesia dan China berlangsung pada 30 September 1956, ketika Presiden Soekarno mengunjungi Beijing. Kunjungan ini menjadi sorotan global, mencerminkan dinamika Perang Dingin yang tengah berlangsung dan kepentingan geostrategis di Asia.
Setibanya di China, Soekarno disambut dengan penuh kehormatan oleh pemimpin-pemimpin besar China seperti Mao Zedong dan Zhou Enlai. Sorotan internasional yang melekat pada kunjungan ini menandakan tidak hanya kedekatan personal, tetapi juga keterlibatan politik yang lebih dalam dengan dampak jangka panjang terhadap hubungan kedua negara.
Sambutan Meriah dan Makna Kunjungan Soekarno
Ketika Soekarno tiba di Beijing, masyarakat China memberikan sambutan yang luar biasa. Dia diarak menggunakan mobil terbuka di tengah lautan manusia yang bersemangat, membawa poster dan foto-foto sebagai ungkapan kegembiraan serta dukungan terhadap Indonesia.
Sambutan ini menunjukkan betapa pentingnya hubungan bilateral bagi kedua negara, di mana Indonesia dipandang sebagai mitra strategis dalam konteks Asia. Hal ini juga mencerminkan posisi Indonesia sebagai negara yang menentang imperialisme dan mendukung gerakan antikolonial di seluruh dunia.
Pada saat itu, hubungan antara Indonesia dan China tidak hanya bersifat diplomatis, tetapi juga emosional. Dalam pidato-pidato yang disampaikan, Soekarno menegaskan persahabatan yang erat dan saling menguntungkan di antara kedua bangsa, serta cita-cita bersama untuk mencapai kemerdekaan penuh dari belenggu penjajahan.
Pantauan Intimidatif AS terhadap Kunjungan Soekarno
Selama Soekarno berada di China, Badan Intelijen AS (CIA) melakukan pengawasan ketat. Mereka khawatir tentang pengaruh komunis yang semakin kuat di Indonesia dan berusaha memantau setiap langkah yang diambil oleh Soekarno.
Dalam dokumen rahasia yang diungkap pada tahun 2003, CIA mencatat kunjungan Soekarno sebagai peristiwa penting yang menunjukkan dukungan eksplisit terhadap klaim China atas Taiwan. Hal ini mengindikasikan sikap agresif AS dalam mempertahankan kekuasaannya di Asia Tenggara.
Sikap Soekarno yang pro-China ini tidak lepas dari pengaruh ideologi yang lebih besar, di mana banyak negara di seluruh dunia mencari alternatif dari dominasi Amerika. Kunjungan ini menandakan satu langkah maju dalam membangun solidaritas di antara negara-negara baru merdeka.
Geopolitik Asia dan Akibat Kunjungan Soekarno
Setelah kunjungan tersebut, hubungan Indonesia dengan China semakin erat, dan Indonesia mulai memainkan peran yang lebih aktif dalam geopolitik Asia. Poros Jakarta-Peking-Pyongyang muncul sebagai salah satu arus utama dalam politik kawasan, yang didorong oleh visi kolektif untuk menghadapi kolonialisme dan imperialisme.
Namun, perubahan ini menjadi sorotan pemerintah AS, yang merasa terancam. Penguatan China di kawasan serta dukungan Soekarno terhadap negara-negara komunis lainnya menciptakan ketegangan yang semakin meningkat.
Di sisi lain, pemerintahan Soekarno juga menyadari bahwa ketertarikan AS terhadap Indonesia dapat memicu tekanan, sehingga menghadapi berbagai kontradiksi dalam kebijakan luar negeri mereka. Ketika Soekarno bertindak mendekat ke China, AS semakin mengintensifkan operasi intelijennya di Indonesia.
Akhir Hubungan Dekat dan Kehancuran Poros Jakarta-Peking-Pyongyang
Ketika Soekarno lengser pada tahun 1966, poros kerjasama yang telah dibangun mulai runtuh. Sosok penggantinya, Soeharto, mengambil langkah drastis dengan membatasi hubungan diplomatik dengan China. Kebijakan baru ini ditujukan untuk menjauhkan Indonesia dari pengaruh komunisme yang dianggap berbahaya.
Langkah Soeharto menandai akhir dari sebuah periode kehadiran China dalam politik Indonesia, yang membuat hubungan kedua negara membeku selama beberapa dekade. Keputusan ini sangat kontras dengan masa pemerintahan Soekarno, yang terkenal mendekatkan Indonesia dengan negara-negara komunis.
Baru pada tahun 1990, hubungan diplomatik Indonesia dengan China kembali dibangun. Proses normalisasi ini menunjukkan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia telah mengalami perjalanan panjang, berputar dari pro-komunis menuju hubungan yang lebih pragmatis dalam konteks global.